ANALISA FATWA MUI NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG WAKAF UANG

Kata Kunci: Fatwa, Wakaf, Uang
Dalam sistem wakaf, status barang yang diwakafkan biasanya berupa properti seperti sebidang tanah atau sebuah rumah, dan sejenisnya. Namun, kali ini komisi fatwa MUI mengeluarkan keputusan yang mengizinkan uang tunai dijadikan sebagai barang wakaf. Meskipun demikian, jika diteliti lebih lanjut, uang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan sebagai barang yang dapat diwakafkan, bagaimana kebolehan fatwa nomor 2 tahun 2002 tentang wakaf uang dari analisis fiqih empat mazhab dan dalil hukum yang digunakan dalam fatwa tersebut dari segi ushul fiqh, maka justru dapat mempermudah seseorang untuk mewakafkan sebagian hartanya tanpa harus menunggu memiliki tanah atau properti lainnya yang memerlukan biaya besar untuk memperolehnya.
Dalam memaksimalkan pembahasan tema yang dikaji atu diteliti penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian kepustakaan atau studi literatur melibatkan serangkaian aktivitas terkait pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian. Dalam pendekatan ini, data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti buku referensi, buku teks, jurnal ilmiah, skripsi, majalah, surat kabar, dokumen, dan sumber-sumber lainnya, Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan proses istinbāṭ hukum yang diterapkan dalam fatwa MUI mengenai wakaf uang dan juga mengungkap dalil hukum yang digunakan MUI dari perspektif ushul fiqh.
Hasil penelitian ini, proses analisa fatwa MUI nomor 2 tahun 2002 tentang wakaf uang, terdapat beberapa pandangan dari para fuqaha yang berpendapat bahwa uang tidak memenuhi syarat sebagai mauquf serta dengan alasan wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain. Namun, menurut mazhab Hanafi, wakaf dengan uang diperbolehkan berdasarkan dalil hukum istihsan dari perspektif ushul fiqih Istihsan berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a. serta sifat dari istihsan tersebut ialah mendahulukan kemaslahatan umum yang tidak memiliki dalil eksplisit dalam Al-Qur'an dan hadits, namun tetap tidak bertentangan dengan qiyas jali.