PEMBERIAN NAFKAH ISTRI QOBLA DUKHUL MENURUT PERSPEKTIF IBNU QUDAMAH

Kata Kunci: Nafkah Qobla Dukhul, Istinbath Ibnu Qudamah

Penelitian ini menggali pendapat Ibnu Qudamah tentang pemberian nafkah qobla dukhul dan ulama’ 4 madzhab terkait dengan perbedaan dan persamaannya, yang mana di latar belakangi dari kasus yang terjadi dalam pernikahan mahasiswa Yaman dan mahasiswi Indonesia. Dimana dalam pernikahan tersebut menyebabkan terjadinya nafkah qobla dukhul dikarenakan pelarangan dari pihak wali. Adapun rumusan masalah yang peneliti kaji dalam skripsi ini sebagaimana berikut: bagaimana pendapat Ibnu Qudamah tentang pemberian nafkah istri qobla dukhul dan bagaimana istinbath hukum yang di gunakan oleh Ibnu Qudamah tentang pemberian nafkah istri qobla dukhul. Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui faktor penyebab pendapat Ibnu Qudamah tentang pemberian nafkah istri qobla dukhul dan untuk mengetahui istinbath Ibnu Qudamah tentang pemberian nafkah istri qobla dukhul.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis metodologi penelitian library research, dengan jenis pendekatan deskriptif analitis dan menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kitab Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah.
Nafkah Qobla dukhul dalam pandangan Ibnu Qudamah didalam kitabnya al- Mughni mengatakan bahwa nafkah qobla dukhul tidak wajib diberikan hal ini sesuai dengan pendapat ulama Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyyah, pendapat Ibnu Qudamah berbeda dengan pendapat ulama’ Hanafiyyah yang mengatakan nafkah qobla dukhul dihukumi wajib. Dan adapun istinbath yang digunakan Ibnu Qudamah adalah metode pendekatan maknawiyyah dengan metode qiyas sedangkan ulama’ Hanafiyyah menggunakan keumuman lafadz. Qiyas yang digunakan Ibnu Qudamah sesuai dengan syarat-syarat qiyas. Dalam masalah yang penulis paparkan, istri dicegah untuk melakukan hubungan suami istri dengan suaminya oleh keluarga istri, dan hal tersebut diqiyaskan dengan istri yang masih kecil dan belum bisa dijima’ oleh suaminya, adapun dasar hukumnya adalah berupa hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori.
حَدَّثَناَ قَبِيْضَةْ بِنْ عُقْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانْ، عن هشاَم بن عروة، عن عروة: تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صَلَّ الله عليه وسَلَّم عَائشةَ وَهِيَ إِبْنَةُ سِتٍّ وَبَنى بِها وهِيَ إِبْنَتُ تِسْعٍ ومَكَثَت عِندَهُ تِسْعاً